Siti Jenar & Firdaus Ala Tantowi

Minggu, 24 Januari 2010


Tantowi mengaku Tuhan. Mengajarkan ‘pengakuan’, dan memberi fatwa halal menggauli santri putri. Surga Eden dipakai sebagai label. Tapi dia tetap mengaku ajaran menyimpang yang dibawanya itu Islam. ‘Perusak Agama’ itu akhirnya diamankan sebelum dihabisi massa.

Orang aneh dengan ajaran aneh makin banyak saja. Di Panarukan muncul nama Agung dengan ajaran Brayat Agung Majapahit. Sedang dari Cirebon, Jawa Barat, Tantowi mendirikan Surga Eden. Di tengah musim hujan dan badai kencang, ‘sang kiai’ mengaku Tuhan. Titahnya tidak boleh dibantah dan segala maunya wajib diamalkan.

Ngangsu kaweruh (mengaji) dengan mursyid tidak bernasab memang sah. Itu sudah terjadi di banyak padepokan yang tersebar di negeri ini. Maklum, sejarah memberi peninggalan itu. Kian subur saat demokrasi berkecambah dan kesadaran akan hak sebagai manusia terhargai.

Namun ketika ajaran bersifat sinkretis mengaku bagian dari agama samawi, Islam utamanya, maka kontra tidak terhindari. Apalagi ‘sang kiai’ membawa isme lingga-yoni yang jelas-jelas diharamkan dalam Islam.

Khasanah literer mengidentifikasi Al-Hallaj yang pernah ‘mengaku’ Tuhan. Ana al-Haqq, ‘akulah kebenaran’ sangat populer. Pengakuan itu membawa Hallaj ke tiang gantung. Tubuhnya dimutilasi, dibakar, dan abunya terserak di Sungai Tigris. Hallaj ‘dimusyrikkan’, dianggap menyekutukan Tuhan.

Para ahli tafsir yang ragu berusaha mencari tahu. Sirr al-Ilah dibedah. Dan at-Thawasin dibuka ulang. Kalimat ‘aku milikNya, dan aku belum menjadi milikNya’ menjadi bahan kajian. Kredo di pasal 23 Kitab At-Thawasin itu akhirnya memberi konklusi, sanksi Hallaj politis. Pencari jalan Allah itu harus menerima takdirnya dengan tidak manusiawi.

Di abad-abad berikutnya Louis Masignon kembali membuka spiritualitas Hallaj. Dia melihat Hallaj masih menduduki singgasana kegelapan di umat beriman. Melalui serangkaian kitab dan telaahnya, Masignon akhirnya menjadi bagian dari ‘pemutihan’ sufi yang mensejarah itu.

Di Indonesia sosok yang ‘mirip Hallaj’ selain Hamzah Fansuri, juga Syekh Siti Jenar. Bedanya, Fansuri tidak ‘punya’ jamaah, sedang Siti Jenar banyak santri. Ungkapan ‘nora ono pengeran kajaba aku, lan nora ono aku kajaba pengeran’ (tidak ada Tuhan selain aku, dan tidak ada aku selain Tuhan), serta keyakinannya ‘hidup itu kematian, dan kematian adalah kehidupan’ mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari.

Para santri untuk ‘menuju mati’ berpura-pura merampok dan memperkosa agar dibunuh. Dan utusan para wali dari Demak terkaget-kaget dengan cara ungkap Syekh Siti Jenar menjabarkan ‘ma’rifatnya’ dalam ‘menyatu’ dan mengagungkan asma Allah. Siti Jenar akhirnya ‘menuju’ kematian.

Siti Jenar dan Hallaj adalah ‘pengemis’ ridha Allah. Mereka tidak jauh dengan cinta yang diminta Rabi’ah Al-Adawiyyah. Sejauh pengelanaan para aulia itu tidak terbersit syahwat. Apalagi mengamini harmonisasi ‘tumbu oleh tutup’ yang bermakna menyatunya lingga (penis) dan yoni (vagina).

Jika Tantowi ternyata menghalalkan persetubuhan santriwati, maka lelaki ini hampir pasti bukan spiritualis dan pasti bukan Islam, tapi penjahat kelamin. Begitu juga Agung dari Brayat Agung yang mencerca Nabi Muhammad dan menyuruh pengikutnya meninggalkan salat dan puasa.

Memang benar dalam ranah ini pernah ada Nava Durga ‘Wisnu bersetubuh’ di empat kiblat dan Tantra Bhairawa amalan Raja Kertanegara yang disinisi Pararaton. Tapi kalau itu yang diamalkan, maka jangan mengaku Islam, dan jangan diajarkan. Sebab paham itu di Hindu maupun Buddha juga dianggap menyimpang.

Sumber:detik.com

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Post